Aku menghampiri seorang cowok yang sedang duduk sendiri di tangga naik (menuju kelas 3, musolah, kantor guru, dan ruang UKS), aku duduk di sampingnya.

“Makasih ya buat yang tadi pagi,”ucap ku memulai pembicaraan.

“makasih untuk apa?”tanya Nico, cowok yang mengantar ku ke sekolah tadi pagi.

“nggak usah pura – pura deh….” Kata ku sambil menyenggol paha Nico dengan paha ku.

Baru kali ini aku berani mendekati Nico, bahkan duduk berdekatan. Padahal dulu waktu masih kelas satu, aku pernah sekelas sama dia tapi aku nggak berani dekatin dia. Bukan karna dia galak atau pun terlalu pendiam bagi ku,melainkan karna wajahnya yang sangar bikin aku tak berani mendekatinya. Makanya aku tak begitu mengenalnya. yang aku tau dari dia hanyalah namanya Nico Permana.

Dari bawah, seorang cowok berkaca mata berjalan hendak naik tangga sambil membawa bertumpuk – tumpuk buku ditangannya. Buku yang di pegangnya banyak sekali, sampai – sampai dia keberatan dan kesulitan naik tangga.

Nico berdiri, lalu berjalan mendekati cowok berkaca mata.

“Sini ! biar gue bantu, ”kata Nico sambil mengambil separuh buku yang dibawa oleh cowok berkaca mata. Mereka berdua berjalan menaiki tangga, sepertinya buku – buku itu hendak di bawa ke kantor.

Aku tidak beranjak dari tangga yang ku duduki ini , sampai Nico kembali duduk disamping ku.

“Gue kira loe sudah pergi,” katanya, sembari duduk di samping ku.

“Jadi loe berharap gue pergi? Ok!” aku berdiri, tapi Nico terlebih dahulu memegang tangan ku, sehingga aku belum sempat melangkah.

“Jangan marah dong! Gue kan nggak bermaksut ngusir loe. Gue cuma mengira,” kata Nico.

Aku kembali duduk, dan Nico melepas pegangannya.

Aku tersenyum.

“Ternyata loe baik juga ya,” kata ku.

“Emangnya loe kira gue jahat?” tanya Nico.

“Dulu gue kira loe tuh kejam, jahat. Soalnya loe nggak pernah tersenyum sama gue, juga sama teman – teman yang lain. Eh, ternyata setelah gue mulai kenal loe, loe orangnya baik juga.”

Nico tersenyum kecut mendengar jawaban ku.

“Orang – orang yang belum mengenal gue juga bilang begitu, bahkan gue pernah di kira pembunuh bayaran. Itu karna wajah gue yang sangar, bikin orang – orang takut sama gue.”

Kami terdiam cukup lama.

“Dulu, gue sempet minder karena saudara – saudara gue ngeledekin gue terus. Mereka bilang gue jelek, item, bagong, gede’ badan tapi nyali ciut, paling goblok, malas, gong – gong ! Pada hal saudara – saudara gue cakep – cakep, putih, badan kurus tapi tinggi, pinter. Gue beda sendiri dari mereka, entah gen apa yang bikin gue seperti ini. Ortu gue juga nggak seburuk gue. Kalau orang – orang melihat mereka tersenyum, rasanya damai banget. Tapi kalau gue yang tersenyum, orang – orang bakal mati ketakutan. (Nico tersenyum kecut) Makanya gue nggak mau senyum sama kalian, n’tar yang ada malah kalian takut liat gue.” Kata Nico.

“Loe jangan ngomong gitu dong !” aku berusaha mengalihkan pembicaraan.  Lagi – lagi Nico tersenyum kecut.

“Tapi emang gitukan kenyataannya !”

Kami terdiam cukup lama. sampai akhir nya….

“Sekarang gue mau berubah,” sontak aku kaget dan menoleh pada Nico, Apa maksutnya?

“Gue nggak peduli kata orang, gue mau jadi diri gue sendiri.Gue nggak peduli Gen apa yang ada dalam diri gue, Gue nggak mau gagal meraih cita – cita karena minder. Gue mau berubah !” Kata Nico bersemangat.

Aku tersenyum, baru kali ini aku melihat orang yang bersemangat demi perubahan pada dirinya.

“Oh iya, menurut loe…. Dulu gue gimana?”tanya Nico.

“Menurut gue…. loe tuh sepertinya orangnya kejam, kalau sudah lulus nanti loe bakal jadi preman kali… loe juga terlalu payah! Perkalian aja nggak hafal. Tapi gue nggak begitu yakin loe tuh kejam, soalnya loe nggak pernah jahatin orang lain. Loe juga nggak seperti orang pendiam walau pun loe sering diam. Yang gue tau dari loe cuma nama loe, Nico Permana!” jawab ku panjang lebar, membuat Nico tersenyum. Meskipun senyumnya pahit dan nggak bagus di lihat.

‘Srrr…..’ lagi – lagi bulu kudu ku merinding, apa mungkin karena senyuman Nico yang….

“BTW, Nama loe siapa sih? Gue lupa,”tanya Nico.

“Ha…ha…ha… jadi dari tadi kita ngobrol, loe nggak tau nama gue? Ecape deh…”
“Gimana gue bisa hafal nama loe, nama loe aja sulit banget di sebut. Siapa ya? M….. Me…..”

“Meosi !”

“Oh iya, Meosi Mulan ! yang gue ingat cuma Mulannya doang. Kalau nama Meosi seperti bahasa jepang. Moshi… moshi….” Aku tertawa, Nico juga ikut tertawa.

“Antoni juga bilang begitu ke gue, dulu waktu gue masih kecil, Antoni sering ngolokin gue ‘orang jepang butun” kata ku.

Nico malah ketawa.

“ha… ha…. Orang jepang butun! Eh, siapa lagi tuh Antoni?”

“Antoni tuh temen kecil gue.”

“Oh….” Nico mengangguk – anggukkan kepala. “Meosi, loe beruntung ya. Punya nama yang cocok sama loe,nggak seperti gue.”

Aku mengerutkan kening ku.

“Maksut loe?”

“Gue akui, Nama Nico Permana terlalu bagus buat gue. Nggak pantes banget kalau orang sejelek gue memiliki nama yang bagus seperti Nico Permana. Menurut gue, gue lebih cocok dipanggil Ucup, Memet, Gogon, pokoknya yang jelek – jelek deh….”

Aku menggelengkan kepala ku.

“Nico…. Nico… ! seharusnya loe bersyukur karena ortu loe ngasih nama yang bagus buat loe. jangan merasa kalau loe nggak pantas punya nama sebagus Nico Permana. Kalau menurut gue ya… loe tuh pantes kok di panggil Nico Permana, cocok banget deh! Apa lagi kalau sifat loe baik, ramah, dan jangan lupa taat ibadah,” kata ku.

Nico hanya tertunduk malu, dan tersenyum.

‘Klotak! Klotak! Tak! Tak! Tak!’

Sebuah bak sampah jatuh dari atas ke bawah, sampai – sampai sampahnya terhambur dan berserakan ditangga.

“Kok bak sampahnya bisa jatuh?” tanya ku.

“Orangnya pergi,”

“Siapa?”

Nico hanya menggeleng.

Tettttt… Tetttt….

Bel tanda masuk berbunyi.